Kamis, 14 Agustus 2008

NEOLIBERALISME

Dirgahayu RI Ke-63, Merdeka dari penjajahan gaya baru.

Oleh ; Fahruddin Fitriya
Enam puluh tiga tahun kemerdekaan RI adalah sebuah momentum yang tepat apabila seluruh gerakan mahasiswa bersatu melawan ketidakadilan dan penindasan terhadap masyarakat. Khususnya di kota semarang yang notabene merupakan Barometer gerakan politik mahasiswa di Jawa Tengah. Bagi gerakan mahasiswa melihat dan mendengar sebuah fenomena tentang apa yang terjadi di negeri ini utamanya adalah masalah kesejahteraan masyarakat yang belum tercapai itu menandakan perjuangan dan pekerjaan kita belum selesai. Karena semakin jelas, tampak berbagai masalah yang harus di tanggung masyarakat akibat kebijakan pemerintah saat ini harus segera kita sikapi bersama-sama. Mahasiswa sebagai Agent Of Change dan Agen Sosial Control tentunya punya peran yang sangat vital dalam rangka memberikan sebuah ide atau gagasan untuk sebuah perubahan yang lebih baik utamanya apabila ada kebijakan pemerintah yang tidak membela kepaentingan kaum yang lemah.

Sebagai pewaris sejarah bangsa, kita perlu menggunakan momentum 63 tahun dirgahayu RI sebagai mata rantai yang tidak terpisah dari tonggak-tonggak sejarah bangsa untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Untuk menjadi bangsa adil-makmur yang dapat menegakkan kepala di tengah pergaulan bangsa-bangsa sebagai kepastian masa depan, kita harus membangun kembali jiwa bangsa: menegakkan kembali martabat sebagai bangsa, menggelorakan kembali harapan di tengah frustrasi sosial yang mendalam, menemukan jalan bagi masa depan di tengah meluasnya romantisme untuk kembali ke masa lalu dan serbuan pragmatisme jangka pendek, dan meneguhkan kembali kegotong-royongan di tengah mekarnya individualisme.

Disadari atau tidak bangsa kita saat ini benar-benar dalam situasi belum sepenuhnya merdeka dengan kata lain kita masih dalam naungan penjajahan gaya baru “Neoliberalisme”, karena memang realitanya setiap kebijakan-kebijakan pemerintah selalu diwarnai dengan intervensi dari pihak asing, yang jelas berakibat mendatangkan penderitaan bagi rakyat. Bangsa kita juga terjajah karena saat ini hampir sebagian asset yang dimiliki Indonesia telah di kuasai oleh pihak asing, seperti industri-industri pertambangan dari Freeport sampai dengan Exxon mobil semuanya kini menjadi otoritas asing Padahal jika Indonesia mau dan mampu menguasai dan mengelolanya sendiri kita tak akan kelimpungan dengan adanya kenaikan harga minyak dunia. Kita justru seharusnya mendapat banyak keuntungan. Namun saat ini Indonesia sebagai salah satu anggota Negara-negara pengeksport minyak “OPEC” malah mendatangkan minyak dari luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sementara minyak dari dalam negeri yang kualitasnya jauh lebih baik di banding minyak impor malahan di bawa ke luar negeri. Ini sungguh ironis kawan-kawan. Seandainya pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menasionalisasi industri-industri pertambangan tentunya keuntungan yang akan masuk ke kas Negara sangat luar biasa karena Exxon Mobil saja pemasukan per detik nya mencapai 12 juta rupiah. Bayangkan di tengah-tengah masyarakat kita yang saat ini rata-rata perharinya penghasilannya hanya di bawah USD 2. ini sungguh bentuk kerja sama yang merugikan pihak Indonesia, dan unsur penghisapan cenderung mendominasi.

Pertama Dominasi asing yang sangat kuat dalam pengelolaan Migas Indonesia. Sebanyak 85,4 persen dari 137 Korporasi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh perusahaan multinasional. Perusahaan nasional hanya punya porsi sekitar 14,6 persen. Data terbaru di BP Migas menyebutkan, hanya ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola lapangan migas di Indonesia. "Dari 20 perusahaan tersebut, baru 10 perusahaan yang sudah berproduksi. Sisanya, masih belum berproduksi.” Tidak jauh berbeda dengan pengelolaan minyak, dalam produksi gas, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik/ tahun. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik. Akan tetapi, dibalik kenyataan ini, industri dalam negeri Indonesia menjerit dan gulung tikar akibat susahnya mendapatkan pasokan gas, seperti yang menimpa Pt. Pupuk Iskandar Muda (PIM). Penyebabnya tidak lain, karena
(1). hampir 90% dari total produksi tersebut dikuasai oleh 6 MNC, yakni; Total(diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30 %), ExxonMobil (17 %), Vico (BP-Eni joint venture, 11 %), ConocoPhillips (11 %), BP (6 %), dan Chevron (4 %).

(2). Orientasi kebijakan ekonomi dan perdagangan pemerintah yang metitikberatkan kepada ekspor (baca:mengejar devisa), menyebabkan hampir semua total produksi gas dijual kepada Jepang, Filipina, Thailand, Korea, dan Malaysia. Untuk total produksi mineral Indonesia, yang meliputi: emas, tembaga, perak, nikel, pasir besi, bauksit, dan konsentrat, juga memperlihatkan trend peningkatan produksi. Jika pada tahun 1999 Indonesia memproduksi 2,513,394.00 ton, maka, pada tahun 2002 Indonesia sanggup memproduksi 3,407,416.00 juta ton. Akan tetapi, dominasi perusahaan asing sangat kuat dalam produksi mineral tersebut, sekitar 80 % produksi emas Indonesia dikuasai oleh Pt. Freeport dan Pt. Newmont.
Kedua kelemahan Indonesia dalam melakukan negosiasi kontrak pertambangan. faktor kelemahan Indonesia dalam negosiasasi perjanjian pembagian keuntungan (profit-sharing agreement) adalah karena moralitas pemerintah Indonesia yang sejak jaman orde baru hingga sekarang berwatak inlader.
Sebagai contoh, penggelembungan dana cost recovery(CR) Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen/barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.
Ketiga regulasi/ kebijakan yang mensahkan korporasi (MNC) menjarah kekayaan alam Indonesia, diantaranya: UU nomor 21/ tahun 2001 tentang Migas, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan RUU Minerba. Kepatuhan pemerintah Indonesia bersama dengan partai-partai yang ada di DPR merupakan buah dari watak borjuis Indonesia yang lemah, plin-plan, dan oprtunis.

Maka, tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus menegaskan kembali soal kemandirian ekonominya. Kemandirian ekonomi nasional bermakna; Penguasaan cabang-cabang produksi yang penting atau strategis, yang mengusai hajat hidup orang banyak oleh Negara. Penguasaan ini juga mensyaratkan bahwa bumi dan air (beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya) harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan bangsa-bangsa didunia, ataupun dengan lembaga internasional, harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, setara dan pengakuan akan kedaulatan bangsa masing-masing. Jalan paling tepat untuk menegakkan kedaulatan ekonomi, yakni dengan melakukan nasionalisasi (pengambil alihan) perusahaan tambang asing. Menurut Kalkulasi Migas Nasional, Effendi Sirajuddin, bahwa Pengalihan lapangan minyak dan gas bumi (migas) asing kepada perusahaan nasional akan menambah pendapatan negara

sekitar 200 miliar US$ yang dihitung dari cadangan migas nasional sebesar 8 miliar barel. Selain itu, dari pembelanjaan barang dan jasa, selama ini Indonesia hanya menikmati satu miliar saja dari 10 miliar dollar AS/tahun. Itu artinya ada ketidakseimbangan pembagian hasil keuntungan dari explorasi sumur-sumur minyak kita.Karena logika pemerintah yang menghamba kepada kepentingan MNC-MNC milik borjuasi asing. Tidak salah kalau kemudian secara nasional kita mengalami krisis energi, walaupun cadangan di sumur-sumur minyak kita masih mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. Dengan alasan menyelamatkan defisit APBN yang mencapai 35 triliun, pemerintah senantiasa mengorbankan kepentingan rakyat miskin.

Untuk itu bagi kami solusi yang terbaik adalah dengan melakukan nasionalisasi industri pertambangan yang saat ini di kuasai Asing, yang hasilnya diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat. Jadikan momen ini untuk menuju bangsa yang benar-benar merdeka dari penjajahan dan penjarahan dalam bentuk apapun.[End]

Tidak ada komentar: