Senin, 22 September 2008

"SAVE OUR BEM FH"

Term Of Reference (TOR)

“Takkan ada progress tanpa perubahan pergerakan yang massif”

Perhelatan wacana yang mengangkat tema “Save Our BEM FH” di Mimbar Akademik ini, diawali dengan memanasnya percaturan politik yang ada di kampus tercinta kita ini dan sebagai wujud pendewasaan dalam berpolitik di kampus. Aktivis kampus yang bergerak di jalur politik dan aktivis imajiner atau apa pun itu adalah bagian dari kehidupan dunia kampus. Sebagai miniatur negara, kampus memang memiliki keragaman, baik dari aktivitas, pola pikir sampai dengan identitas. Dan kemudian dari perbedaan atau pluralitas itu kampus menjadi tempat lahirnya banyak pelaku perubahan yang kemudian berbaur di masyarakat.

Sebentar lagi Mahasiswa UNNES akan melakukan ritual besar (pemira). Ritual yang oleh rakyat sebuah negara demokrasi ditunggu-tunggu. Dalam ritual tersebut masyarakat melakukan proses observasi yang sebelumnya dilakukan kampanye oleh calon-calon yang ada. Proses pemilihan wakilnya yang diharapkan dapat menyalurkan aspirasi guna tercapai cita-cita yaitu kemashlahatan/kesejahteraan kampus. Sehingga tercipta suasana negara (kampus) yang stabil, demokratis, dan aspiratif serta mengayomi masyarakat dengan melayaninya dengan baik. Tetapi bagaimanakah sebenarnya situasi yang seharusnya terdapat dalam bangsa yang baik?

Kurangnya peran dari kawan-kawan yang menamakan dirinya sebagai aktivis dengan embel-embel fungsinya, untuk melakukan proses penyadaran terhadap mahasiswa lainnya. Bahkan yang lebih ngeri, sering muncul sikap egoistik di mana A adalah A dan B tidak sama dengan A. Maksudnya, latar belakang organisasi atau bendera organ menjadi jurang pemisah dari sebuah pergerakan yang kemudian memunculkan ketidak-sinergisan arah gerakan, dan ini diperparah dengan bentuk black campaign (kampanye hitam) yang di lakukan oleh beberapa kawan kita yang ingin memperebutkan jabatan structural di kampus.

"Itu wajar, karena cita-cita setiap organ pasti berbeda!" kata seorang aktivis membantah. Kalaupun ada perbedaan, lantas wacana perubahan seperti apa yang kemudian akan diusung? Dan kenapa proses perangkulan itu sekadar dilakukan untuk pengaderan ataupun rekrutmen anggota, dan penyusupan kepentingan/obsesi pribadi semata?

Kita pasti akan kurang sepaham dengan definisi yang diajukan oleh beberapa kawan kita tentang aktivis struktural kampus, di mana aktivis struktural kampus adalah orang-orang yang mau berpikir, berjuang dan bersedia menjadi pelaku perubahan yang mengarah kepada perbaikan nasib bangsa ini dengan segenap kemauan dan kemampuan. Dari definisi itu termemaknai bahwa ada hal yang memang dilupakan oleh aktivis struktural kampus hari ini, yakni kondisi teman-temannya yang lain (mahasiswa lain) yang katakanlah non-aktivis struktural kampus, artinya kemudian ada proses penyekatan dan pengotakan yang berakibat pada tidak terjadinya harmonisasi di kampus.

Semoga gelar struktural bukan dimaknai sebagai suatu status sosial yang perlu dibanggakan tapi menjadi sebuah posisi yang harus dipertanggungjawabkan! Terakhir, perjuangan adalah awal dari kenyataan... dan kenyataanlah yang akan mengantarkan perjuangan kita!

Demikian Term Of Reference ini kami susun, semoga dapat menjadi acuan pelaksanaan kegiatan bagi semua pihak yang akan terlibat.

***

Susunan Acara

16.00-16.15

Conditional

GEMA Hukum + Mahasiswa FH UNNES

16.15-16.30

Performance Art (Opening)

Lukman ‘n Friend’s Acoustic Band.

16.30-17.45

Discution “Save Our BEM FH”

GEMA Hukum + Mahasiswa FH UNNES

17.45-18.00

Performance Art (Closing)

Lukman ‘n Friend’s Acoustic Band.

18.00-Selesai

Acara Inti Buka Bareng

GEMA Hukum + Mahasiswa FH UNNES

Interest politik

Problematika Apatisme Mahasiswa Terhadap Interest Politik

*Fahruddin Fitriya

Kampus merupakan miniatur sebuah negara. Sebuah negara yang di dalamnya terdapat sebuah pemerintahan begitu juga kampus, dimana terdapat organisasi intra kampus (DPM dan BEM) yang disertai organ yang mengurusi urusan kesejahteraan masyarakat (kampus) nya. Terkait dengan pemilu digunakan sebagai ajang pesta demokrasi dalam suatu negara juga dilakukan dalam kampus. Dimana pemilu digunakan sebagai salah satu sarana masyarakat untuk memilih para wakilnya yang akan duduk dalam dewan.

Sebentar lagi Mahasiswa UNNES akan melakukan ritual itu (pemira). Ritual besar yang oleh rakyat sebuah negara demokrasi ditunggu-tunggu. Dalam ritual tersebut masyarakat melakukan proses observasi yang sebelumnya dilakukan kampanye oleh calon-calon yang ada. Proses pemilihan wakilnya yang diharapkan dapat menyalurkan kehendaknya guna tercapai cita-cita yaitu kemashlahatan/kesejahteraan kampus. Sehingga tercipta suasana negara (kampus) yang stabil, demokratis, dan aspiratif serta mengayomi masyarakat dengan melayaninya dengan baik. Tetapi bagaimanakah sebenarnya situasi yang seharusnya terdapat dalam bangsa yang baik?

Dalam negara yang baik seharusnya terdapat interest masyarakat yang tinggi terdapat politik. Di swiss, sebagian besar masyarakat sadar akan kontribusi dirinya dalam sebuah pemerintah. Antusiasme masyarakat swiss terhadap politik ternyata sangat besar, ini di tandai dari proses pemilihan umum yang dijadikan ajang penyaluran apirasi dan saling memahami serta menghargai antara berbagai parpol yang ada. Dan setelah itu masyarakat serentak melakukan kontrol terhadap pemerintahan yang sudah terbentuk. Begitu juga diharapkan dikampus tercinta kita ini, pemira yang akan diselenggarakan diharapkan dapat diikuti dengan antusiasme seluruh mahasiswa dengan kesadaran akan pentingnya partisipasi politik sebagai salah satu wahana penyaluran aspirasi dan kontribusi konkrit dalam perbaikan sebuah kepemerintahan (Kampus).

Mahasiswa dalam kampus selayaknya masyarakat dalam sebuah negara. Masyarakat yang baik seharusnya peduli terhadap kondisi bangsa (kampus) nya terlebih mau untuk melakukan perbaikan. Sebagaimana di ungkapkan oleh Resiva bahwa kesadaran dan perhatian serta partisipasi masyarakat dalam politik dan perubahan sosial akan menjadikan sebuah masyarakat mengalami dinamisasi yang selanjutnya mencapai society stability. Pandangan ini mengajarkan bahwa dengan peran serta masyarakat kampus atau mahasiswa dan perhatiannya dalam proses perbaikan (sosial-poliitik) merupakan bentuk kontribusi nyata dalam perbaikan itu sendiri. Karena itu di harapkan kepada seluruh mahasiswa memanfaatkan secara maksimal pesta demokrasi (pemira) kampus tersebut.

Selanjunya interest politik melahirkan kepedulian politik berkelanjutan, kepedulian politik ditunjukan dengan selalu mencermati perkembangan dinamisasi politik kampus. Pencermatan dilakukan pada saat pemerintahan kampus berjalan, ini berfungsi sebagai guide (pengawasan) atas perealisasian janji-janji yang di ucapkan pada saat kampanye.

Proses pengawasan dapat sebagai oposan dan kritikus aktif. Dalam dunia politik yang buruk biasanya selalu penguasa mencoba mengenyahkan, pada hal oposan merupakan bagian dari proses pembangunan, dengan oposisi yang kuat, rakyat menjadi mantap dan optimis mengenai masa depannya. Karena jika ada kesalahan dari suatu pemerintahan, rakyat memiliki keyakinan pilihan pada pemilu berikutnya. Oposan dapat memberikan kritik untuk meningkatkan pengelolaan negara (kampus). selain oposan rakyat dapat melakukan kritikan-kritikan sistematis dengan pengaspirasian yang berkesinambungan melalui berbagai media, seperti demontrasi, tulisan, audiensi, etc. Dengan begitu akan terjadi dinamisasi dalam pemerintahan atau (kampus). Dengan dinamisasi tersebut di harapkan akan menghiraukan kesehatan pemerintahan dan kesejahteraan kampus dapat tercapi.

Dengan mengetahui pentingnya interest politik mahasiswa dapat turut aktif dalam proses dinamisasi kampus. Dimana saat ini mahasiswa UNNES sangat rendah intrest politiknya, ini terlihat pada pemira tahun lalu, mahasiswa dengan enggan menyalurkan suaranya padahal KPU sudah melakukan upaya sosialisasi secara massif. Padahal hal itu terkait dengan dirinya sebagai mahasiswa, seperti disebutkan diatas kampus merupakan miniatur negara dan tidak beda jauh terdapat permasalahan yang sama, mungkin korupsi. Tidak di penuhinya kebutuhan kesejahteraan mahasiswa dan penyimpangan-penyimpangan lainnya. Permasalahan ini tidak akan selesai dengan ke-acuh-an, sikap masa bodoh mahasiswa.

Maka sudah waktunya mahasiswa UNNES sadar akan eksistensi dirinya sebagai mahasiswa yang tidak hanya ngampus saja dan mendapatkan IP tinggi. Tetapi sebagai intelektual dan penerus bangsa (terlebih bangsa Indonesia saat ini penuh dengan broker yang menjadikan bangsa ini sakit/broken), ia harus melatih diri dengan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan (kampus) dengan semangat perbaikan, penuh kefahaman dan kesadaran.

Penulis Adalah Mahasiswa Hukum

Tinggal Di HongKong

Keluar dari Jeratan Apatime

Rahmat Sutopo*

Kerjakanlah apa yang seharusnya Kalian Kerjakan (petikan pidato Soakarno pada peringatan Sumpah Pemuda 1956). Mahasiswa, kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Sebagai generasi muda yang di harapkan oleh pendahulu kita untuk bisa meneruskan pembangunan bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera tanpa penindasan dan penjajahan. Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan inilah tahapan yang kemudian kita lalui saat ini untuk menuju kepada cita-cita bangsa. Kuliah di kampus negeri adalah dambaan setiap orang. Tapi itu semua akan menjadi kebanggaan semu, kala kita manjadi mahasiswa kita tidak mengerti peran apa yang harus kita lakoni atau kita mainkan. Hidup ibarat memainkan skenario sinetron, ketika sutradara memberikan peran untuk menjadi mahasiswa, tentunya kita akan bermain sesuai peran itu. Sebagai bangsa yang besar tentunya kita tidak bisa begitu saja melupakan sejarah. Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struk­tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.

Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.

2. Pemihakan pada rakyat.

Gerakan mahasiswa hari ini sedang menghadapi musuh paling menakutkan, bukan liberalisasi, bukan kapitalisasi pendidikan melainkan adalah sikap apatisme yang saat ini melekat pada sebagian besar mahasiswa. Perkembangan paham-paham liberalisme talah membius kesadaran mahasiswa yang seharusnya punya kepedulian terhadap kehidupan masyarakat dan bangsanya. Mahasiswa mulai meninggalkan peranannya dan memilih dunia baru yang lebih bebas tak bertanggung jawab. Gelar agent of change (agen perubahan) sudah luntur tergilas oleh perubahan dan paradigma liberal. Sehingga tugas kita bersama adalah mengembalikan ruh idealisme mahasiswa yang sudah di renggut oleh liberalisme, apatisme maupun hedonisme yang saat ini benar-benar mendarah daging. Mahasiswa hendaknya bisa belajar dari sejarah bangsanya, mahasiswa harus belajar memahami problem-problem masyarakat selain harus sibuk menuntut ilmu di bangku kuliah. Kemudian apakah yang bisa kita persembahkan kepada masyarakat bangsa dan Negara semasa kita menjadi mahasiswa. Hidup akan lebih berarti ketika keberadaan kita memberikan manfaat terhadap orang di sekeliling kita. Mari keluar dari jeratan apatisme, kembalikan kejayaan mahasiswa…!!!

Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli,

Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu…

(Syair : Widji Tukul)

*Penulis adalah Mahasiswa

Tinggal Di Venezuela

Unnes Oh Unnes,...

Kemalasan Glogal di kampus Sekaran

Semarang, 2 September (22.00)

*Fahruddin Fitriya

Saat kali pertama datang ke Sekaran, pada pertengahan 2006 lalu, penulis masih bisa dengan mudah menemukan roh intelektual di Kampus Unnes. Bisa dengan mudah, penulis mendapati sekelompok mahasiswa yang berdiskusi sore hari di sekitar kampus.

Dalam pertarungan wacana, bisa dipastikan, setiap Minggu wajah-wajah akrab kawan kuliah kita bisa dengan mudah ditemukan bersama tulisannya di media massa, laiknya Suara Merdeka, Wawasan, Kompas Jateng, dan bahkan media massa nasional seperti Jawapos.Dinamika kampus benar-benar hidup. Mahasiswa benar-benar mewarisi semangat rasionalisasi Rene Descartes, cogito ergo sum. Saya sadar (berpikir) maka saya ada. Semangat rasionalitas ilmiah benar-benar menjadi ukuran keber-ada-an seorang mahasiswa di kampus. Mereka yang tidak “berpikir” maka bersiaplah untuk binasa atau dibinasakan.

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Seperti yang bisa kita lihat, terjadi kemalasan global di jagat raya UNNES. Selama ini, yang menjadi ukuran kegiatan mahasiswa adalah UKM dan BEM. Tanpa bermaksud menggeneralisir, kondisi sebagian UKM baik Fakultas dan Universitas mengalami stagnasi, bahkan kemunduran.

Kepemimpinan UKM apalagi. Ada banyak UKM yang dipimpin oleh mereka yang secara terpaksa menjadi ketua, karena tak ada yang lebih layak. Bahkan, banyak pemimpin prematur yang belum siap mentalnya untuk menjadi seorang panutan. Akibatnya, roda organisasi tidak lancar. Atau, sebaliknya UKM dipimpin oleh pemimpin yang sudah uzur. UKM Fakultas lebih parah lagi. Ada beberapa UKM yang kantornya tidak pernah dibuka. Padahal, saat UKM tersebut eksis beberapa tahun yang lalu, UKM tersebut belum memiliki kantor. Kondisi ini diikuti oleh beberapa BEM Fakultas yang seharusnya menjadi wadah untuk memfasilitasi mahasiswa – mahasiswa berkapasitas tetapi apa yang terjadi sangatlah buruk, dan itu artinya BEM Fakultas telah gagal total.

UKM seharusnya lebih menekankan skill dan mengembangkan keahlian khusus. Di sinilah titik unik UKM. Karena, dibutuhkan seorang yang punya jiwa kepemimpinan dan memiliki kemampuan memadai sesuai skill yang dikembangkan UKM tersebut. Begitu pula Dengan BEM, Kenapa Mahasiswa sekarang merasa lebih pede dan nyaman dengan jabatan politis kampus. Hingga merasa perlu berebut untuk mendapatkan jabatan-jabatan politis di kampus.

Penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa politisi kampus itu negatif. Akan tetapi, realita yang berkembang di masyarakat adalah bahwa kerja politik adalah jenis pekerjaan yang tidak jelas kerjanya, tetapi hasilnya jelas. Pertanyaanya, apakah kecenderungan politisi kebanyakan juga menular kepada politisi kampus? Silahkan menilai sendiri.

Tegasnya, pergeseran orientasi yang disela-selani dengan kemalasan global telah terjadi di sekitar kita. Kontrakan dan kos-kosan yang dulu menjadi tempat diskusi kini menjelma menjadi Night Club. Dan tampaknya, kondisinya dari hari ke hari kian parah. Dan kita baru geger tatkala terjadi “sesuatu”.

Senyatanya, kemalasan global ini hanya menimpa sebagian mahasiswa kita. Celakanya, sebagian di sini adalah sebagian besar. Karenanya, semua ini harus segera disudahi.

Sekaran Berganti topeng!!!

Bila kita tilik secara mendalam, pergeseran —untuk tidak menyebut degradasi—ini tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari pergeseran gaya hidup mahasiswa UNNES yang juga terpengaruh dengan pergeseran sosiologis di Sekaran.

Sekaran telah berubah menjadi Lokalisasi berjubah kampus, Apel, mesum, dan perbuatan – perbuatan asusila lainnya sudah tak sulit lagi di jumpai di sini. Itu artinya mahasiswa telah menghianati ikrarnya sendiri. Tidak salah lagi jika kita beranggapan bahwa mahasiswa UNNES, Siang “Pelajar” kalau malam “pelacur”, Inikah Kaum muda intelek harapan bangsa?

Counter hape di sekaran dan sekitarnya telah menjamur, bagaimana dengan toko buku? Dewasa ini toko buku terancam gulung tikar karena sepi pembeli. Mari perhatikan, hampir tidak ada mahasiswa yang tidak menenteng hape, meski untuk “memberi makan” mereka masih ‘menodong’ ortu. Parkir kampus penuh, hingga sepeda motor diparkir di depan kelas. Helm racing dibawa masuk kelas.

Komputer warnet perpustakaan selalu penuh. Tapi, apa yang mereka lakukan? Dipastikan, 80 % dari mereka surving, chatting. Penulis tidak bermaksud menyatakan, segala fasilitas tersebut negatif. Tetapi, coba bayangkan, apa jadinya bila kita yang terbiasa dengan fasilitas harus hidup tanpa fasilitas? Bayangkan di sekitar kita tidak ada sepeda motor, tidak ada hape, tidak ada internet.

Pernah suatu ketika, salah seorang teman, tidak bersedia —tepatnya malas—mengantarkan surat ke rektorat, hanya karena tidak ada sepeda motor. Bahwa fasilitas diciptakan manusia sekedar untuk mempermudah, bukan sebagai tempat bergantung. Bila kita bergantung kepada ciptaan manusia sendiri, betapa lemah diri ini.

Memang, ada sekelompok mahasiswa yang tetap mempertahankan idealismenya. Tapi, kebanyakan kita tidak termasuk di dalam golongan ini. Lalu, kaitannya dengan segala fasilitas, akankah kita menegasikannya lalu kemudian memutar balik jarum jam?

Jelas, ini tidak memungkinkan. Yang masih memungkinkan adalah penyadaran tugas dan tanggung jawab mahasiswa yang tidak enteng. Mahasiswa adalah generasi elit yang punya kesempatan untuk mendapatkan banyak pengetahuan. Kesempatan ini membawa tanggung jawab ilmiah dan sosiologis.

Penulis adalah Mahasiswa Hukum

Tinggal Di Amerika

Aktivis Asli Tapi Palsu, Said

Aktivis Asli Tapi Palsu.

Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya ia datang untuk menghantam atau memang itu yang sudah digariskan, menjillat, menghasut, menindas memperkosa hak-hak sewajarnya. ( Iwan Fals)

Mas Gi, Mas Taufik, Mas Edi, Mas Luluk, Mas Haris, Mas Fahmi, dan teman-teman yang mebaca tulisanku, ini bukanlah munafik belaka karena saya adalah tokoh BEM. Tulisanku ini murni kegelisahanku terhadap apa yang terjadi di dalam lembaga kemahasiswaan, dan rasanya saya ingin mengubahnya.kita mulai ya….

Kata aktivis sangat popular dikalangan mahasiswa pasca reformasi. Karena bargain aktivis menjadi tinggi saat mereka bersatu menumbangkan rezim orde baru di tahun 1998. Aktivis dianggap bak seorang pahlawan yang telah mengusir penjajah di negeri ini. Mereka selau dikenal dan disambut dengan hormat jika berjalan disepanjang jalan.

Di awali dengan sejarah itu, sekarang banyak orang yang ingin menjadi aktivis, terlepas dengan perasaan ketulusan hati mereka untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Melaikan dengan dasar agar mempermudahkan mereka untuk mendapatkan jaringan demi kepentingan dirinya sendiri atau yang lebih parahnya mereka yang ingin jadi aktivis agar mereka terkenal dimana-mana, Ini tidak ubahnya seperti artis.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan lembaga yang dikenal sebagai lembaga yang didalamnya bercokol sekumpulan aktivis. Penulis tidak tahu alasan mengapa mereka ingin masuk BEM. Apakah mereka ingin mendapatkan biasiswa? Atau mereka ingin namanya dikenal ? penulis tidak tahu alasan mereka sebenarnya, penulis hanya Cuma berwacana saja( Sok Tahu Loe).

Kebanyakan mahasiswa yang duduk di jabatan BEM mempunyai wibawa yang dahsyat untuk mempengaruhi teman-temannya untuk ikut bergerak dalam perjuangannya. Karena BEM identik dengan organisasi Inteletual-itu dulu-. Sekarang BEM hanyalah sekumpulan orang-orang yang oportunis, kebanyakan mahasiswa yang menduduki jabatan BEM hanya untuk mendapatkan sebuah biasiswa, ingin dirinya dianggap jago berpolitik atau bahkan ingin dirinya dikenal bagai artis, jika dia sedang berjalan orang akan menyapanya dengan rasa hormat, bagai Pejabat pemerintahan yang mengobral senyum dengan dihiasi wibawa palsu.

Parahnya lagi, aktivis mahasiswa yang ingin masuk BEM dengan niaatan untuk memburu posisi structural, misalnya hanya memburu jabatan ketua BEM, ini hanya akan menjadi sia-sia belaka. Mereka sudah mengorbankan waktu, harta dan pikiranya hanya untuk sebuah jabatan. Jika seandainya kalah maka akan tercipta ilklim kebencian pada salah satu lawannya. Dan akhirnya akan tercipta permusuhan, bisa jadi mereka akan selalu mempunyai perasaan saling curiga dan ini akan menimbulkan perasaan tidak tenang dalam kehidupan mereka.

Penulis selalu berharap semoga BEM selalu di duduki kaum intelktual yang disana selau terjadi iklim diskusi yang bisa mengasah intlektual mereka, bukan hanya sekedar sekumpulan mahasiswa yang kumpul rapat dan menggosip untuk membuat setrategi-setrategi agar bisa mengalahkan musuh dan akhirnya muncullah black compaine ( Kampanye hitam). Tapi penulis mengharabkan yang duduk di posisi BEM adalah orang yang selau berdialektika, membaca, diskusi dan kemudian menulis, tentunya dengan ketulusan hati yang paling dalam tanpa ada unsur kepentingan untuk menjatuhkan. Richardo Mathopat“ aktivis adalah orang yang bisa mengukur kekuatannya dan saling percaya terhadap sesama”.

Muhtar Said

Sekretris Jendral BEM FH UNNES

Senin, 01 September 2008

Hukum Kita

Wajah buram dunia hukum di Indonesia

Oleh Fahruddin Fitriya

Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.

Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.

Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.

Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.

Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.

Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.

Mari kita lihat, apakah kondisi yang sama pada saat ini masih akan kita temui dalam 20 tahun ke depan?