Kamis, 25 Desember 2008

Neoliberalisme Pendidikan Antara Realitas Dan Dampak

Neoliberalisme Pendidikan Antara Realitas Dan Dampak

Sekilas Tentang Dunia Pendidikan
Pendidikan yang di elu-elukan oleh banyak orang agaknya menjadi sebuah impian yang tak ada ujung pangkalnya jika kita terus mengamati perkembangannya selama kurun waktu yang begitu panjang. Perbandingan nasib dunia pendidikan di zaman Orde Baru dan rezim Megawati tampaknya tidak ada perbedaan yang siginifikan untuk rakyat, khususnya rakyat miskin yang sudah menjadi masyarakat mayoritas di indonesia. Yang terjadi justru adalah pendidikan di jadikan komoditi bagi sebagian orang (baca; kapitalis) untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan selain untuk mencetak tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan. Bagaimana dengan nasib dunia pendidikan di bawah kepemimpinan Mega saat ini, apakah membawa perubahan berarti terhadap rakyat untuk dapat mengenyam pendidikan sebagai ujung tombak dari kemajuan sebuah bangsa. Dan bagaimana dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan oleh Pemerintahan Megawati dan Hamzah Has, khususnya di dunia pendidikan.

Anggaran pendidikan dan potensi jumlah penduduk
Pengurangan subsidi terhadap anggaran yang di anggap tidak produktif sebagai tuntutan dari Kapitalisme Internasional, di antaranya adalah pengurangan Subsidi untuk pendidikan. Sejak di hantam badai krisis akhir `97, perekonomian Indonesia mengalami penurunan drastis apalagi di tambah dengan KKN yang terjadi di masa Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara yang mayoritas penduduknya adalah rakyat miskin. Populasi jumlah penduduk yang selalu mengalami penambahan tiap tahunnya jika tidak segera di antisifasi dengan pembangunan insfrastruktur sosial terutama pendidikan, hanya akan menambah jumlah pengangguran yang semakin besar di Indonesia. pada tahun 1999-2000 saja jumlah penduduk yang telah masuk usia sekolah sudah mencapai 85,778,950,1 jika di bandingkan dengan jumlah penduduk yang masuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebesar 25,614,836,2 maka sangat wajar jika anggaran pendidikan yang di alokasikan pemerintah sangat tidak memadai apalagi tingkat pendapat masyarakat terutama kaum buruh masih di bawah standart kebutuhan hidup minimum (KHM).
Megawati saat membahas rancangan APBN 2002 mengemukakan, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dialokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 11,6 triliun dan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial sebesar Rp 4,3 triliun dari total anggaran pembangunan yang tersedia dalam tahun 2002 adalah sebesar Rp 47,1 triliun yang bersumber dari pembiayaan rupiah murni sebesar Rp 22,7 triliun dan dana Pinjaman Luar Negeri Rp 24,4 triliun. Alokasi untuk kedua sektor tersebut mencapai sepertiga dari keseluruhan anggaran pembangunan, sedangkan untuk sektor pendidikan sendiri mencapai 24,7% dari seluruh anggaran pembangunan. "Dana untuk sektor pendidikan digunakan antara lain untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dan menengah terutama percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, meningkatkan mutu pendidikan, pemberian beasiswa kepada anak-anak keluarga tidak mampu, penyediaan buku pelajaran, peningkatan kualitas guru dan tenaga pendidik lainnya melalui berbagai pelatihan," ujar Megawati.3
Perdebatan seputar anggaran pendidikan yang di alokasikan dari APBN dan APBD, serta adanya perubahan UUD 1945 mengenai pasal 31 tentang pendidikan, Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), merumuskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan APBD.4 Di sisi lain Depdiknas juga menawarkan program tambahan dalam mengatasi kesulitan biaya operasional pendidikan bagi sekolah Dasar dan Menengah dalam bentuk proposal program dan pendanaan proyek Broad Based Education (BBE), suatu bentuk pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat, ini bagian dari upaya merealisasikan gagasan perlunya pendidikan life skills. Program kerja sama antara lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tentunya dengan jaminan mata pelajaran yang di berikan sesuai dengan keahlian yang di butuhkan pada perusahaan tersebut. Suatu bentuk otonomi pendidikan yang dengan gencarnya di jalankan oleh pemerintah demi menjawab kebutuhan kapitalisme. Tetapi ini tidak di barengi dengan perbaikan nasib Guru, padahal Megawati telah menjanjikan juga alokasi untuk kesejahteraan Guru, Hal inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan para Guru dengan melakukan pemogokan di beberapa daerah. Puluhan ribu guru di Wonosobo, Purbalingga, Lampung, Pekalongan, Tegal, Brebes, Jember, Sorong melakukan mogok bersama. Perlawanan mereka bermula ketika Juli 2001 pemerintah menaikkan gaji seluruh pegawai negeri sipil dan pensiunan sebesar 15-20%. Keputusan ini berlaku sejak Januari lalu. Dengan kenaikan itu, paling tidak mereka sudah mengecap tambahan antara Rp. 175.000 hingga 300.000 per bulan. Dan dengan penundaan pembayaran, berarti mereka bisa menerima rapel sekitar 1 hingga 2, 4 juta.4 Kenyatannya, pemerintah daerah sampai sekarang belum juga membayarkan hak para guru tersebut. Alasan pemerintah sangat klise : dananya tidak tersedia. Padahal menurut menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar, pemerintah pusat sudah memasukkan rapel gaji guru itu ke dalam pos dana alokasi umum yang disalurkan ke daerah. Keluhan ini juga di utarakan oleh ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI), “tak hanya berupa kenaikan kesejahteraan Guru tetapi juga kebutuhan Guru untuk di perhatikan dan di ajak berbicara mengenai tugas-tugasnya”.5 Ironis memang peningkatan mutu pendidikan melalui sistem pendidikan nasional, tidak di ikuti dengan perbaikan nasib Guru baik yang ada di daerah maupun yang ada di kota-kota besar. Padahal kebutuhan hidup hari-perhari terus meningkat seiring dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan pemerintahan Megawati.
Di sektor perguruan tinggi kondisi yang terjadipun tidak jauh berbeda, anggaran pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri yang di alokasikan dari APBN malah terus mengalami pengurangan tiap tahunnya. Semenjak bulan April 2000, pemerintah sudah mencabut subsidi Dana Operasional Pendidikan (DOP) dan Beasiswa Kerja Mahasiswa. Negara kini memberikan dana kepada Perguruan Tinggi tidak lagi dalam bentuk subsidi tetap, tetapi dalam bentuk Block Grant atau Blok Dana. Artinya, dana yang diberikan akan diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, sesuai dengan kualitas yang ditentukan berdasarkan, antara lain, jumlah lulusan yang mampu dihasilkan Perguruan Tinggi tersebut. Bahwa kemudian perguruan tinggi harus mencari sumber-sumber dana lain, di sinilah kemudian MWA sebagai wakil masyarakat (dan pemerintah) berperan. Akibatnya Perguruan Tinggi Negeri mulai menyiapkan dana tambahan dengan membebankan pembiayaan operasionalnya pada masyarakat dalam bentuk kenaikan biaya kuliah (SPP). Beberapa Perguruan Tinggi yang dijadikan pilot project (proyek percontohan) Otonomi Kampus sudah meningkatkan biaya perkuliahannya secara drastis pada tahun 1999. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), SPP meningkat dari Rp.255.000,- menjadi Rp.460.000,- (kenaikan sebesar 80%). Di Institut Teknologi Bandung (ITB), SPP meningkat sebesar 66% dari Rp.468.000,- menjadi Rp.775.000,- dan melambung lagi menjadi 1 Juta Rupiah pada tahun berikutnya. Ini diberlakukan dengan alasan adalah bahwa mahasiswa dari kampus-kampus tersebut berasal dari kelas menengah ke atas yang mampu membayar biaya perkuliahan, sehingga tak perlu lagi ada subsidi untuk mereka sekalipun block grant akan tetap diberikan oleh pemerintah.

Perubahan Sistem Pendidikan dan Pola Kebijakan Yang Di Terapkan

Kurikulum Pendidikan Dalam Menghadapi Era Globasasi Dan Pasar Pebas
Salah satu komponen pendidikan yang menyita banyak perhatian dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional adalah soal kurikulum. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap kurikulum sebagai inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sisi lain ada beberapa faktor lain yang juga mendukung keberhasilan peleksanaan pendidikan di Indonesia, guru yang berkwalitas, kondisi sarana dan prasarana, manajemen sekolah, serta sistem pendidikan nasional. Perkembangan sistem pendidikan nasional yang sekarang ini menjadi sebuah opini di masyarakat khususnya para praktisi pendidikan adalah seputar program pendidikan nasional 2000-2004. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan di lakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti. Ramainya perdebatan seputar kurikulum berbasis kompetensi, di nilai belum nyata pengaruhnya terhadap perbaikan kwalitas pendidikan. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi hanyalah jawaban atas rendahnya kwalitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan. Di sisi lain juga kurikulum ini memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk membuat kurikulum turunan sesuai dengan kebutuhan daerah atau sekolah, dan membuka kerja sama dengan pihak swasta/perusahaan dalam mengelola potensi sebuah lembaga pendidikan. Menurut Prof. Dr. S. Hamid , pakar kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) “secara umum, pusat kurikulum Balitbang Depdiknas belum mau secara tegas mengatkan bahwa yang mereka inginkan adalah kurikulum berbasis standar. Hal ini dapat di lihat dari definisi kurikulum berbasis kompetensi yang di hubungkan dengan keahlian tertentu yang harus di capai siswa”. 5 standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar.

Sistem penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara di tetapkan melalui PP. No 61 tahun 1999, sebagai manifestasi dari otonomi kampus. Ketetapan ini di berlakukan dengan dalil laju globalisasi dan pasar bebas. Dan di dorong oleh kepentingan bersama, Beberapa negara di berbagai kawasan dunia membentuk kawasan perdagangan bebas yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan antar negara. Di kawasan Asia Tenggara dibentuk AFTA, kawasan Asia Pasifik membentuk APEC, dan puncaknya adalah ditandatanganinya perjanjian GATT yang membentuk WTO. Perkembangan tersebut di satu sisi akan mengurangi, bahkan meniadakan berbagai proteksi perdagangan pada negara-negara yang ikut menandatangani perjanjian itu. Namun di lain pihak juga membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh akses ke pasar dunia. Keterbukaan pasar tidak terbatas pada komoditi tradisional saja, melainkan akan juga mencakup tenaga kerja. Menghadapi arus globalisasi tersebut, negara membutuhkan kemampuan yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain.6 Dan sistem yang di terapkan Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menempat kelompok satuan atau lapis yang secara langsung terlibat dan bertanggungjawab mengenai penetapan tujuan, penyediaan sumberdaya, pelaksanaan proses, dan evaluasi kualitas hasil serta kinerja. Keterlibatan dan pertanggungjawaban tersebut, baik secara bersama maupun oleh masing-masing lapis dilaksanakan dalam suatu kerangka kewajiban, tugas dan wewenang, yang secara keseluruhan membentuk Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Ke-empat lapis tersebut terkait satu dengan lainnya secara hierarkis, yaitu :
- Lapis ke-1 Otoritas Pusat
- Lapis ke-2 Perguruan Tinggi
- Lapis ke-3 Unit Akademik Dasar
- Lapis ke-4 Sivitas Akademika
Posisi mahasiswa berada pada lapis ke-empat yang dalam proses pengambilan kebijakan sama sekali tidak berpengaruh karena struktur organisasi Perguruan Tinggi itu sendiri yang kini menaruh Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ yang mewakili pemerintah dan masyarakat dalam Perguruan Tinggi.7 Walaupun Perguruan Tinggi merupakan BHMN yang bersifat nirlaba, tetapi ia diperbolehkan mendirikan badan usaha yang mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mengatasi biaya operasional. Terbukalah peluang bagi Perguruan Tinggi untuk bekerja sama dengan para pemilik modal, berarti pendidikan menjadi komersial. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membentuk sebuah badan usaha bernama PT. GMUM yang memiliki 23 anak perusahaan dan siap menerbitkan saham begitu keuntungan sudah diperoleh. Kepentingan-kepentingan pemodal ini kemudian terwakili dalam Majelis Wali Amanat, yang selain terdiri atas unsur pemerintah (Menteri) dan Kampus (Senat Akademik dan Rektor), juga mencakup wakil dari masyarakat. Secara riil “wakil dari masyarakat” hanyalah sebuah penghalusan dari “wakil pemilik modal.” Tengok saja anggota-anggota MWA Universitas Indonesia (UI) dari unsur masyarakat yang dilantik 1 November lalu. Dari 6 orang tersebut, tercatat dua orang pengusaha besar, yaitu Muchtar Riyadi dari Lippo Group dan Rahmat Gobel yang menjadi Direktur Utama PT. National Gobel. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), komposisinya juga tak jauh berbeda. Dari 8 orang yang dilantik, terdapat juga unsur-unsur pemodal, antara lain Adrian Maghribi dan Prihadi Santoso (Presiden dan Wakil Presiden PT. Freeport Indonesia), dan Saifuddin Hasan (Presiden Direktur Bank BNI). Buyarlah sudah anggapan bahwa kampus adalah milik rakyat. Pada kenyataannya, kampus adalah milik pemodal.
Hal inilah yang kemudian menelanjangi sistem pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia, bahwa pendidikan adalah komoditi bagi kapitalisme, menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha yang menghasilkan modal dan menjadi alat pemilik modal untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil yang sesuai dengan standar kapitalisme. Pendidikan direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem kapitalisme. Mata kuliah yang ada dipecah-pecah dan direduksi proses ilmiahnya menjadi lebih pragmatis dan jelas yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Terjadi pula pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun, untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Ini tentu saja lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O. Lebih parah lagi, mekanisme pasar kemudian berlaku dalam pasar tenaga kerja. Apabila kemudian jumlah tenaga kerja yang tersedia membludak dan melebihi kemampuan serap, maka daya tawar pemilik modal meningkat dan melemahkan posisi tawar calon-calon pekerja yang baru lulus tersebut. Daripada menjadi pengangguran, mau tak mau mereka kemudian menerima saja bekerja dengan gaji rendah atau standar kerja yang minimal, misalnya.
Ini saja sudah menunjukkan bahwa mahasiswa sama sekali tidak dipandang penting dalam proses otonomi kampus ini, ia cukup patuh saja pada peraturan pemerintah tanpa sama sekali diberi hak untuk didengarkan pendapatnya, apalagi untuk turut serta dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Suatu hal yang justru bertentangan dengan proses demokrasi, di mana minoritas tunduk pada mayoritas.

Pendidikan Bukan Barang Dagangan

Pendidikan Bukan Barang Dagangan



Pemerintah berencana untuk memprivatisasi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dimulai dengan pem-BHMN-an beberapa kampus ternama di Indonesia, pem-BHMN-an yang selanjutnya akan dinaikkan kembali statusnya menjadi BHP atau Badan Hukum Pendidikan. Undang-undangmengenai BHP ini masih digodok di DPR untuk mencari format yang bisa diterima berbagai pihak karena banyak pihak yang kontra atau menolak BHMN ataupun BHP. Rencana ini harus ditanggapi secara serius, karena bakal mau tidak mau kita akan terkena dampaknya. Sudahkah kita memikirkannya? Atau jangan-jangan sama sekali belum tahu? Tentu kewajiban bagi Rektorat untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh sivitas akademika, dan melakukan dialog yang melibatkan mahasiswa. Kita tidak bisa diam berpangku tangan membiarkan orang-orang menentukan hidup kita, yang sangat mungkin mengandung maksud-maksud terselubung untuk kepentingan golongannya sendiri.

Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi dan politik. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual.

Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni (mendominasi paling kuat) masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Apa kepentingan tersebut? Tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal (kapital) ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat-alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan (yudikatif), regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi mahasiswa untuk menolak RUU BHP, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demo-demo mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat dan bentuk anti demokrasi rezimSBY-Kalla.

Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa,Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus (melalui aparat pendidikan) dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Pengetatan kurikulum menjadi 140-160 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkan mahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa banyak tingkah; kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Nah, di industri apa sih posisi kita? Pemilik pabrik? Manajer? Satu dua mungkin iya, tapi mayoritas hanya akan menjadi buruh-buruh terampil belaka, di mana hasil kerja dan kecakapan kita diupah dengan angka-angka yang tidak bisa kita tentukan sendiri.

Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi, pendidikan dijadikan alat legitimasi kekuasaan oleh rezim yang berkuasa.

Privatisasi Berkedok Otonomi bukan Solusi

Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.

Dengan Privatisasi kampus dengan wujud BHP-nya berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil.

Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.

Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (Serikat/Liga mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).

UU BHP semakin membuat hancur pendidikan di Indonesia, UU BHP yang aslinya adalah Komersialisasi pendidikan di Indonesia tidak hanaya menghancurkan pendidikan tetapi membawa Negara kearah jurang kehancuran. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar setiap warga Negara Indonesia yang harus dipenuhi oleh pemerintah, dengan adanya UU BHP maka pemerintah akan melepas tanggungjawabnya membiayai pendidikan padahal telah jelas diatur dalam tata Negara kita atau UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara untuk membiayainya yang diambilkan dari APBN atau APBD minimal 20%.

Bukan Privatisasi atau komersialisasi pendidikan yang dibutuhka rakyat, tetapi pendidikan yang GRATIS untuk rakyat. Mari kita serukan kepada pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.

Oleh : Fahruddin Fitriya Mhs. FH UNNES

Senin, 13 Oktober 2008

korupsi

Korupsi dan Kemacetan Negara

Strategi progresif untuk perangi korupsi nampaknya telah benyak mengalami kemajuan di seluruh Nusantara. Tak ketinggalan Jawa Tengah dua kasus yang telah diputuskan atas nama terdakwa Hendy Boedoro Bupati Kendal dan Bambang Guritno Bupati Semarang. Tak menutup kemungkinan koruptor kerah putih ini bertambah. Benarkah hal ini akan menciptakan kemacetan Negara
Maraknya pejabat Negara yang terperangkap skandal korupsi di sisi lain bisa menyebabkan kemacetan Negara. Solusi otomatis, bagi institusi yang terjangkit koruptor,urusan pemerintahan bisa dilimpahkan ke wakil pemerintahan. Seperti halnya, perkara korupsi Hendy Boedoro Bupati Kendal yang diputuskan oleh Mahkamah Agung memvonis tujuh tahun dan Bambang Guritno Bupati Semarang oleh Pengadilan Negeri Semarang dihukum dua tahun (Kompas/ 21/07). Sementara ini, kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh mereka bisa terisi oleh wakilnya.
Namun dari hal inilah, ada persoalan terkait dengan kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Siapa yang paling layak menggantikan kepala daerah jika kepala daerah sementara ini berhalangan?. Ataupun bila pelaku koruptor sebagai pejabat di lingkungan struktural dan fungsional pemerintahan. Kekosongan jabatan akan menyisakan pelayanan publik yang terbengkalai dan harus menunggu lama proses penggantian atau penunjukkan pejabat sementara.
Sulit memang bila korupsi yang telah merasuk jauh ke dalam sistem, pada akhirnya akan membuat banyak orang yang terlibat, menjadikannya sebagai kejahatan ini sesuatu yang biasa. Seolah-olah kejahatan itu menciptakan hak. Dan, kalau satu dituntut, lalu semua harus ikut bertanggung jawab.
Praktek ini lazim kita lihat, bahwa tertangkap tangannya satu pelaku korupsi, nantinya akan mengakibatkan penyeretan pelaku-pelaku yang diyakini sebagai sindikat yang terlibat dalam pengadaan tindak kejahatan tersebut. Karenanya, korupsi dianggap sebagai kebiasaan (habitus), maka di dalam benak pelaku korupsi hanya ada pretensi bahwa semua institusi korup, semua pejabat doyan suap, dan semua elemen bermain dalam menyuburkan kejahatan terorganisir ini.
Alih-alih pemberantasan korupsi tebang pilih mengingatkan kita bahwa upaya ini semacam skenario politik. Arah pemberantasan korupsi mudah ditebak, menimpa pejabat korup yang kurang memiliki kekuatan dan pengaruh. Pejabat-pejabat yang dominan terlihat kebal oleh hukum.
Seandainya pejabat yang terakhir ini ketahuan korupsi, besar kemungkinan lepas dari jerat hukum, atau untuk mengobati kemarahan publik, hanya di hukum ringan. Haryatmoko (2008) mengatakan hal ini “bisa”, karena aparat hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberikan alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.
Apatisme atas pemberantasan korupsi sebagaimana persoalan di atas ada baiknya di ikuti dengan perbaikan citra lembaga Negara di mata publik. Laju percepatan pemberantasan korupsi hendaknya tidak melupakan “pelayanan publik” yang diberikan Negara kepada masyarakat. Tapi demikian bukannya pemberantasan korupsi ditinggalkan. Hanya saja pemerantasan korupsi dibarengi dengan optimalisasi pelayanan publik yang tak boleh terlupakan. Sehingga kewibawaan dan citra Negara bisa kembali bersemai.
Dengan upaya progresif yang dilakukan secara cepat dan tegas oleh pemangku kebijakan, mengisikan pejabat-pejabat yang jujur untuk mengantisipasi kekosongan jabatan yang ditimbulkan oleh pejabat korup. Sehingga kemacetan penyelenggaraan pemerintahan tak akan mungkin terjadi, dan akhirnya pelayanan kepada masyarakat bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Menjadi Komoditas
Korupsi telah menjadi satu kebiasaan. Kebiasaan akan membungkam rasa bersalah, sehingga pelaku korupsi cukup menikmati hasil dari kejahatannya dengan perasaan yang biasa dan wajar. Dalam banyak kasus, proses hukum untuk mengungkapkan pelaku korupsi justru berbalik menjadi sarana rehabilitasi dan pembersihan nama. Semua prosedur hukum yang dianggap adil memang sudah ditempuh, tapi hasilnya jauh dari rasa keadilan. Korupsi tetap saja tumbuh subur di seluruh bidang, mengakibatkan sikap dan perbuatan korup menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi adalah kebiasaan.
Anthony Giddens (1993), dalam bukunya New Rules of Sosiological Method mengkonstatasikan bahwa kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan individu-individu untuk bertindak. Dalam kerangka ini, bisa dilihat sebuah skema bahwa kebiasaan korupsi membentuk sebuah pola.
Pola korupsi antara lain, sebagai komoditas yang tidak hanya dimiliki oleh pejabat saja, namun juga oleh elemen-elemen masyarakat. Korupsi dipergunakan sebuah isu dan wacana yang dapat dibuat sebagai mata pencaharian. Isu dan wacana korupsi menjadi black campaign bagi pejabat yang saling beradu kekuatan untuk memperebutkan jabatan strategis tertentu.
Isu dan wacana korupsi juga bisa dipergunakan oknum lembaga non pemerintahan untuk memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang/ barang, atau bentuk lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Menyelami phenomologi ramainya lembaga non pemerintah baru-baru ini yang bergerak di bidang korupsi merupakan hal yang menarik tersendiri. Pada umumnya, kelompok penekan ini banyak bergerak di ranah pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan. Namun eksistensinya memiliki relasi dengan pelaku pengadaan barang dan jasa, serta hampir bisa dikatakan bahwa langkah-langkahnya bisa dipetakan menguntungkan kepentingan tertentu.
Stigmatisasi terhadap lembaga non pemerintahan yang bergerak di seputar isu korupsi ini memang muncul karena banyaknya afiliasi, kedekatan dan tujuan praktis. Sehingga menjadi penghambat bagi penyelenggaraan Negara khususnya pengadaan barang dan jasa yang profesional, fair, dan tranparan.
Sudah selayaknya reorientasi bagi kelompok penekan semacam ini perlu dilakukan. Walaupun sebenarnya masih banyak lembaga yang setia menjaga reputasi dan kredibilitasnya dan tak terjebak di lingkup manfaat praktis, meski jumlahnya sedikit.

GENDER

Membangun Resistensi, Membongkar Stereotipe

Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun dibalik itu, kita lupa dengan terjadinya “penyeragaman” dalam tayangan ataupun bacaan itu sendiri yang berakibat pada memaksa penonton untuk mengikuti apa yang si pembuat media inginkan. Contoh sederhana adalah tayangan iklan. Iklan yang ditayangkan terus menerus berpotensi menggiring penonton untuk “harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan. Menyaksikan iklan shampo; rambut lurus hitam adalah nilai yang disampaikan penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal bagi perempuan.
Semua ini tentu tidak lepas dari motif-motif politik-ideologis tertentu dibalik penyajian tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik dan minyak goreng. Iklan kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan. Iklan tentang minyak goreng adalah contoh lain tentang nilai-nilai domestifikasi perempuan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas segala kesehatan suaminya. Bagaimana menganalisa masalah ini? Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama saya adalah pada wacana feminisme. Alasannya, seperti halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan.

Produksi Kekuasaan

Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi kekuasaan”. Bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang ideal dan normal adalah; langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Disini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus.

Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target penjualan produk (Eriyanto,2001).

Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidik kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap berwajah murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu memperhatikannya.

Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan, individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih.

Atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-kata,”Lost the weight, not the fun …” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagaian tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat badan anda hingga 5 kg perminggu!” Kata-kata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah kegembiraan dan kepuasan.

Atau pada iklan minyak goreng, terdapat kata-kata,”jangan-jangan kolesterol suamiku tinggi karena aku salah pilih minyak goreng”. Jelas sekali adanya domestifikasi perempuan bahwa istrilah yang harus bertanggungjawab bila suaminya terkena penyakit tertentu. Istri ideal adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada suami mereka. Masyarakat kemudian menginternalisasi “istri ideal” adalah seperti itu. Iklan itu menunjukkan adanya bias dalam menampilkan perempuan dimana istri cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah.

Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas tubuhnyadan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang tidak dominan ini diabaikan (left out).

Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan perempuan Afrika pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu pencerahan terhadap kapitalisme (Adriana Venny,2000).

Resistensi Perempuan Melalui Media Seni

Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati karena kulit kita?

Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender dimana seks adalah indentifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual(Suzanne dan wendi,1997) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial-budaya.(Elaine,1989)

Stereotipe tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan laki-laki berkarakter baik bila ia sebagai individu di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan lebih jelas mengatakan bahwa stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan(Fakih 1997).

Stereotipe: Wacana Dominan, Wacana Oposisi Biner

Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Dalam Sorties, Hélén Cixous menulis hirarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal dalam relasi yang superior-inferior seperti “Activity/passivity, Culture/nature, Head/heart, Intelligible/palpable Man/woman” (Priyatna 2000)

Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya.

Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan dimana ini terjadi pula dalam media seni. Dalam media ini perempuan adalah obyek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir laki-laki, perempuan adalah obyek yang pasif, yang bisa dibentuk sebagaimana yang diinginkan laki-laki. Seperti Basuki Abdullah seorang pelukis terkenal pernah berkata,”Perempuan itu lebih cocok untuk dilukis daripada sebagai pelukis.” Antiphanes seorang dramawan komedi Yunani juga mengatakan,”Perempuan tak akan hidup lagi setelah kematian, kecuali dibangkitkan lawan kesenian oleh pria.” Penyair metafisis Inggris pada sekitar abad 17 bahkan menggambarkan perempuan itu cuma kata-kata (passivity, palpable), sedang perbuatan adalah pria (activity, intelligible).(Swara Harian Kompas, 1999). Atas hal ini, dapat disimpulkan bahwa tampaknya perempuan dalam media ditempatkan sebagai yang abstrak, sedangkan pria itu konkrit. Perempuan yang “dikerjakan” dan lelakilah yang mengerjakan.

Wacana dominan yang berwajah stereotipe ini memagari perempuan sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan dirinya. Seperti yang dialami pelukis Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl. Ketika menjadi pelukis, mereka dianggap “sinting” atau aneh oleh masyarakat sekitarnya, karena ada stereotipe dimana ibu rumah tangga seharusnya mengurus rumah tangga, bukannya melukis (Bianpoen,1996).

Kenyataan bahwa perempuan dalam media seni tidak diterima sebagai subyek sebetulnya sudah dialami oleh Kartini dan adiknya, Roekmini. Dalam suratnya, sekitar tahun 1901 bahwa saudara perempuannya yang bernama Roekmini ingin menjadi pelukis di akademi senirupa di Den Haag, tetapi tradisi tidak memberi tempat kepada anak perempuan diluar lingkungan rumah. Adanya stereotipe bahwa perempuan tidak boleh di luar lingkungan rumah mengakibatkan Roekmini tidak pernah mendapat kesempatan belajar seni rupa seperti yang pernah dicita-citakannya (Bianpone,1996).

Begitupula di bidang sastra, Ayu Utami penulis novel Saman sebagai pemenang juara pertama sayembara roman DKJ 1997-1998 sempat dicurigai bahwa itu bukan karyanya, melainkan tulisannya Goenawan Muhammad. Ada faktor ketidakpercayaan masyarakat dengan mempertanyakan bagaimana mungkin perempuan dapat mencapai kesuksesannya di bidang sastra, dan masyarakat lebih percaya bila kesuksesan sebuah karya seni ada di tangan laki-laki (stereotipe). Akibatnya, buah pikiran Ayu Utami dicurigai sebagai buah pikiran laki-laki, yang dianggap lebih mungkin dan masuk akal.

Kecurigaan tersebut bisa kita lihat di beberapa media massa dan gunjingan di sekitar kelompok-kelompok sastra. Seperti dalam surat kabar Suara Pembaharuan, dituliskan judul yang sangat melecehkan,”’Saman”, Puas tapi Minta Tambah”, yang isinya mengasumsikan bahwa fragmen dari novel itu benar-benar mengundang libido pembaca (dalam hal ini berarti libido laki-laki) dengan menempatkan Ayu Utami sebagai obyek berita yang sensual, bukan karya sastranya. (Suara Pembaharuan, 1998)

Membongkar Stereotip Melalui Media Seni

Stereotip memang sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata dapat juga menjadi alat untuk mendobrak stereotipe itu sendiri. Dalam media seni kita bisa menemukan semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan.

Hans Georg Gadamer pernah mengatakan bahwa tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat universal. Aturan-aturan itu diberikan oleh alam melalui para genius. Seperti apa yang dikatakan Imanuel Kant bahwa “seni murni adalah seni para genius”. Itu berarti bahwa seni tidak dapat diatur oleh adanya stereotipe ataupun konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Tidak ada aturan seni yang menempatkan perempuan harus sebagai obyek.

Di ranah seni rupa, Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl akhirnya mengalami kesuksesan terutama karya mereka yang sangat feminis. Dalam Srikandi (1993) Lucia Hartini melukis perempuan yang diletakkan sebagai subyek. Perempuan dalam lukisan itu berani dengan tinju terkepal, otot-otot lengan yang kencang dengan sebelah matanya keluar cahaya tajam yang menembus mata-mata yang sedang mengintip. Dalam lukisannya itu Lucia Hartini telah mendobrak adanya stereotipe dengan menempatkan perempuan sebagai manusia berani dan aktif. Demikian pula Kartika Affandi Koberl dalam karyanya Potret Diri yang lebih menggambarkan integritas perempuan gigih dan kuat dalam menghadapi kesulitan hidup. Garis-garis kuasnya menaruh kontemplasi dan ekspresi perasaan yang sangat kuat.

Di ranah sastra, Ayu Utami yang ditimpa gunjingan sana-sini juga tidak mengurangi kesuksesannya. Di dalam novel-novelnya selalu ia tanamkan tentang karakter perempuan mandiri, yaitu perempuan sebagai subyek yang memandang, dan laki-laki sebagai obyek yang dipandang. Ia juga memberontak terhadap stereotipe keperawanan perempuan. “Dengar kawan-kawan, kataku, jika agama dipakai untuk urusan ini, pada akhirnya yang salah adalah Tuhan. Mendengar itu Yasmin marah sekali, sehingga kami kepingin berkelahi. Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah laki-laki… Apa salah laki-laki? Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian … Tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi kukatup mulutku rapat-rapat karena aku tak ingin kembali bertengkar. Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis”. (Utami, 1998)

Ayu Utami juga menggugat stereotipe masyarakat tentang hubungan lelaki dan perempuan. “Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998)

Dalam ranah teater atau drama, Bisma Al Huseini dari Mesir melakukan pemberontaknnya lewat media teater. Ia seorang aktris yang mencoba melakukan perlawanan kepada cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang selama ini sangat stereotipe. Dialah perempuan yang memimpin teater dimana pada awalnya tidak didukung oleh siapa pun. Tetapi ketika ke Beirut, dia menjadi orang besar yang dihargai oleh orang lain sebagai perempuan perkasa yang memiliki cita-cita mulia. Sejak itu posisinya menguatkan perempuan lain untuk ikut berteater sebagai usaha perlawanan mereka.(Bimo Nugroho, 2001)

Penutup

Bahwa perempuan dalam media bisa menjadi obyek yang dieksploitasi, dibentuk dan diciptakan tubuhnya oleh imajinasi keinginan pria, tetapi di lain hal perempuan dapat menggunakan media itu sendiri sebagai sarana resistensi untuk membongkar stereotip bila perempuan itu sendiri bisa menciptakan apa yang benar-benar ia inginkan atas tubuh, jiwa dan pikirannya sendiri.

Kamis, 09 Oktober 2008

BHP

Mencermati RUU Badan Hukum Pendidikan

Walau Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan.

RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Setidaknya ini tergambar dalam draf RUU Badan Hukum Pendidikan versi 12 Oktober 2005. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.

Pada bagian pendanaan dan kekayaan, yaitu pasal 22 ayat 3, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.depdiknas.go.id).

Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva (Soemarso, 1999). Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan.

Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting.

Cara yang sudah digunakan dengan memperkarakan pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan guru-guru dari Banyuwangi dan diteruskan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia serta Persatuan Guru Republik Indonesia, menjadi sangat relevan. Termasuk mendorong dilakukannya impeachment apabila pemerintah terus membandel.

Kedua, belum ada program yang jelas. Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, akan disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut.

Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan (www.setjen.depdiknas.go.id). Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis.

Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak akan membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis dikorupsi.

Hasil riset Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kenaikan anggaran dalam dua tahun terakhir, 2004 dan 2005, ternyata tidak mempengaruhi pelayanan dan biaya yang ditanggung masyarakat. Anggaran pendidikan pada 2004 sebesar Rp 15,3 triliun meningkat menjadi Rp 26,5 triliun pada 2005, termasuk dana bantuan operasional sekolah.

Menurut penilaian masyarakat, gedung, peralatan belajar-mengajar, serta guru dan kepala sekolah masih mengecewakan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan cenderung meningkat. Misalnya untuk tingkat sekolah dasar negeri di Semarang. Pada 2004, para orang tua mengaku mengeluarkan biaya langsung ke sekolah rata-rata Rp 725.255, kemudian pada 2005 meningkat menjadi Rp 950.956.

Menolak privatisasi

Melihat realitas pendidikan yang terus memburuk, menuntut kenaikan anggaran merupakan hal yang penting. Tapi upaya tersebut tidak dijadikan sebagai tujuan akhir. Sebab, kenaikan anggaran harus dimasukkan ke kerangka peningkatan mutu layanan dan perluasan akses bagi warga. Ini berarti medan perjuangan harus diperluas.

Selain terus memaksa pemerintah taat pada amanat konstitusi negara, UUD 1945, hal yang penting adalah mengawal agar anggaran tidak dihabiskan untuk membiayai birokrasi pendidikan. Upaya memaksa agar proses penganggaran lebih partisipatif, terbuka, dan akuntabel dari tingkat pusat hingga sekolah menjadi sangat mendesak.

Penting juga didorong reformasi dalam sistem penganggaran, dengan memperjelas porsi bagi penyelenggara dan porsi untuk peningkatan mutu serta perluasan akses pendidikan bagi warga. Diharapkan nantinya kenaikan anggaran tidak dimanipulasi oleh birokrasi untuk mengeruk keuntungan sendiri.

Langkah lainnya adalah menolak berbagai aturan yang melegalkan pelepasan tanggung jawab negara dalam pelayanan pendidikan. RUU Badan Hukum Pendidikan yang kini memunculkan kontroversi hanyalah turunan dari aturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 53, mengenai badan hukum pendidikan.

Karena itu, upaya memperbaiki pendidikan nasional tidak bisa dilakukan secara parsial. Kenaikan anggaran tidak cukup dijadikan sebagai jawaban karena masalah pendidikan tidak hanya berkaitan dengan besar-kecilnya dana yang disediakan. Yang lebih penting adalah untuk apa dan bagaimana dana tersebut digunakan.

Pendidikan

Neoliberalisme Pendidikan Antara Realitas Dan Dampak


Sekilas Tentang Dunia Pendidikan

Pendidikan yang di elu-elukan oleh banyak orang agaknya menjadi sebuah impian yang tak ada ujung pangkalnya jika kita terus mengamati perkembangannya selama kurun waktu yang begitu panjang. Perbandingan nasib dunia pendidikan di zaman Orde Baru dan rezim Megawati tampaknya tidak ada perbedaan yang siginifikan untuk rakyat, khususnya rakyat miskin yang sudah menjadi masyarakat mayoritas di indonesia. Yang terjadi justru adalah pendidikan di jadikan komoditi bagi sebagian orang (baca; kapitalis) untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan selain untuk mencetak tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan. Bagaimana dengan nasib dunia pendidikan di bawah kepemimpinan Mega saat ini, apakah membawa perubahan berarti terhadap rakyat untuk dapat mengenyam pendidikan sebagai ujung tombak dari kemajuan sebuah bangsa. Dan bagaimana dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan oleh Pemerintahan Megawati dan Hamzah Has, khususnya di dunia pendidikan.


Anggaran pendidikan dan potensi jumlah penduduk

Pengurangan subsidi terhadap anggaran yang di anggap tidak produktif sebagai tuntutan dari Kapitalisme Internasional, di antaranya adalah pengurangan Subsidi untuk pendidikan. Sejak di hantam badai krisis akhir `97, perekonomian Indonesia mengalami penurunan drastis apalagi di tambah dengan KKN yang terjadi di masa Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara yang mayoritas penduduknya adalah rakyat miskin. Populasi jumlah penduduk yang selalu mengalami penambahan tiap tahunnya jika tidak segera di antisifasi dengan pembangunan insfrastruktur sosial terutama pendidikan, hanya akan menambah jumlah pengangguran yang semakin besar di Indonesia. pada tahun 1999-2000 saja jumlah penduduk yang telah masuk usia sekolah sudah mencapai 85,778,950,1 jika di bandingkan dengan jumlah penduduk yang masuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebesar 25,614,836,2 maka sangat wajar jika anggaran pendidikan yang di alokasikan pemerintah sangat tidak memadai apalagi tingkat pendapat masyarakat terutama kaum buruh masih di bawah standart kebutuhan hidup minimum (KHM).

Megawati saat membahas rancangan APBN 2002 mengemukakan, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dialokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 11,6 triliun dan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial sebesar Rp 4,3 triliun dari total anggaran pembangunan yang tersedia dalam tahun 2002 adalah sebesar Rp 47,1 triliun yang bersumber dari pembiayaan rupiah murni sebesar Rp 22,7 triliun dan dana Pinjaman Luar Negeri Rp 24,4 triliun. Alokasi untuk kedua sektor tersebut mencapai sepertiga dari keseluruhan anggaran pembangunan, sedangkan untuk sektor pendidikan sendiri mencapai 24,7% dari seluruh anggaran pembangunan. "Dana untuk sektor pendidikan digunakan antara lain untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dan menengah terutama percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, meningkatkan mutu pendidikan, pemberian beasiswa kepada anak-anak keluarga tidak mampu, penyediaan buku pelajaran, peningkatan kualitas guru dan tenaga pendidik lainnya melalui berbagai pelatihan," ujar Megawati.3

Perdebatan seputar anggaran pendidikan yang di alokasikan dari APBN dan APBD, serta adanya perubahan UUD 1945 mengenai pasal 31 tentang pendidikan, Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), merumuskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan APBD.4 Di sisi lain Depdiknas juga menawarkan program tambahan dalam mengatasi kesulitan biaya operasional pendidikan bagi sekolah Dasar dan Menengah dalam bentuk proposal program dan pendanaan proyek Broad Based Education (BBE), suatu bentuk pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat, ini bagian dari upaya merealisasikan gagasan perlunya pendidikan life skills. Program kerja sama antara lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tentunya dengan jaminan mata pelajaran yang di berikan sesuai dengan keahlian yang di butuhkan pada perusahaan tersebut. Suatu bentuk otonomi pendidikan yang dengan gencarnya di jalankan oleh pemerintah demi menjawab kebutuhan kapitalisme. Tetapi ini tidak di barengi dengan perbaikan nasib Guru, padahal Megawati telah menjanjikan juga alokasi untuk kesejahteraan Guru, Hal inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan para Guru dengan melakukan pemogokan di beberapa daerah. Puluhan ribu guru di Wonosobo, Purbalingga, Lampung, Pekalongan, Tegal, Brebes, Jember, Sorong melakukan mogok bersama. Perlawanan mereka bermula ketika Juli 2001 pemerintah menaikkan gaji seluruh pegawai negeri sipil dan pensiunan sebesar 15-20%. Keputusan ini berlaku sejak Januari lalu. Dengan kenaikan itu, paling tidak mereka sudah mengecap tambahan antara Rp. 175.000 hingga 300.000 per bulan. Dan dengan penundaan pembayaran, berarti mereka bisa menerima rapel sekitar 1 hingga 2, 4 juta.4 Kenyatannya, pemerintah daerah sampai sekarang belum juga membayarkan hak para guru tersebut. Alasan pemerintah sangat klise : dananya tidak tersedia. Padahal menurut menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar, pemerintah pusat sudah memasukkan rapel gaji guru itu ke dalam pos dana alokasi umum yang disalurkan ke daerah. Keluhan ini juga di utarakan oleh ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI), “tak hanya berupa kenaikan kesejahteraan Guru tetapi juga kebutuhan Guru untuk di perhatikan dan di ajak berbicara mengenai tugas-tugasnya”.5 Ironis memang peningkatan mutu pendidikan melalui sistem pendidikan nasional, tidak di ikuti dengan perbaikan nasib Guru baik yang ada di daerah maupun yang ada di kota-kota besar. Padahal kebutuhan hidup hari-perhari terus meningkat seiring dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan pemerintahan Megawati.

Di sektor perguruan tinggi kondisi yang terjadipun tidak jauh berbeda, anggaran pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri yang di alokasikan dari APBN malah terus mengalami pengurangan tiap tahunnya. Semenjak bulan April 2000, pemerintah sudah mencabut subsidi Dana Operasional Pendidikan (DOP) dan Beasiswa Kerja Mahasiswa. Negara kini memberikan dana kepada Perguruan Tinggi tidak lagi dalam bentuk subsidi tetap, tetapi dalam bentuk Block Grant atau Blok Dana. Artinya, dana yang diberikan akan diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, sesuai dengan kualitas yang ditentukan berdasarkan, antara lain, jumlah lulusan yang mampu dihasilkan Perguruan Tinggi tersebut. Bahwa kemudian perguruan tinggi harus mencari sumber-sumber dana lain, di sinilah kemudian MWA sebagai wakil masyarakat (dan pemerintah) berperan. Akibatnya Perguruan Tinggi Negeri mulai menyiapkan dana tambahan dengan membebankan pembiayaan operasionalnya pada masyarakat dalam bentuk kenaikan biaya kuliah (SPP). Beberapa Perguruan Tinggi yang dijadikan pilot project (proyek percontohan) Otonomi Kampus sudah meningkatkan biaya perkuliahannya secara drastis pada tahun 1999. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), SPP meningkat dari Rp.255.000,- menjadi Rp.460.000,- (kenaikan sebesar 80%). Di Institut Teknologi Bandung (ITB), SPP meningkat sebesar 66% dari Rp.468.000,- menjadi Rp.775.000,- dan melambung lagi menjadi 1 Juta Rupiah pada tahun berikutnya. Ini diberlakukan dengan alasan adalah bahwa mahasiswa dari kampus-kampus tersebut berasal dari kelas menengah ke atas yang mampu membayar biaya perkuliahan, sehingga tak perlu lagi ada subsidi untuk mereka sekalipun block grant akan tetap diberikan oleh pemerintah.


Perubahan Sistem Pendidikan dan Pola Kebijakan Yang Di Terapkan

Kurikulum Pendidikan Dalam Menghadapi Era Globasasi Dan Pasar Pebas

Salah satu komponen pendidikan yang menyita banyak perhatian dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional adalah soal kurikulum. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap kurikulum sebagai inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sisi lain ada beberapa faktor lain yang juga mendukung keberhasilan peleksanaan pendidikan di Indonesia, guru yang berkwalitas, kondisi sarana dan prasarana, manajemen sekolah, serta sistem pendidikan nasional. Perkembangan sistem pendidikan nasional yang sekarang ini menjadi sebuah opini di masyarakat khususnya para praktisi pendidikan adalah seputar program pendidikan nasional 2000-2004. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan di lakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti. Ramainya perdebatan seputar kurikulum berbasis kompetensi, di nilai belum nyata pengaruhnya terhadap perbaikan kwalitas pendidikan. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi hanyalah jawaban atas rendahnya kwalitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan. Di sisi lain juga kurikulum ini memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk membuat kurikulum turunan sesuai dengan kebutuhan daerah atau sekolah, dan membuka kerja sama dengan pihak swasta/perusahaan dalam mengelola potensi sebuah lembaga pendidikan. Menurut Prof. Dr. S. Hamid , pakar kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) “secara umum, pusat kurikulum Balitbang Depdiknas belum mau secara tegas mengatkan bahwa yang mereka inginkan adalah kurikulum berbasis standar. Hal ini dapat di lihat dari definisi kurikulum berbasis kompetensi yang di hubungkan dengan keahlian tertentu yang harus di capai siswa”. 5 standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar.


Sistem penyelenggaraan Pendidikan Tinggi

Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara di tetapkan melalui PP. No 61 tahun 1999, sebagai manifestasi dari otonomi kampus. Ketetapan ini di berlakukan dengan dalil laju globalisasi dan pasar bebas. Dan di dorong oleh kepentingan bersama, Beberapa negara di berbagai kawasan dunia membentuk kawasan perdagangan bebas yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan antar negara. Di kawasan Asia Tenggara dibentuk AFTA, kawasan Asia Pasifik membentuk APEC, dan puncaknya adalah ditandatanganinya perjanjian GATT yang membentuk WTO. Perkembangan tersebut di satu sisi akan mengurangi, bahkan meniadakan berbagai proteksi perdagangan pada negara-negara yang ikut menandatangani perjanjian itu. Namun di lain pihak juga membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh akses ke pasar dunia. Keterbukaan pasar tidak terbatas pada komoditi tradisional saja, melainkan akan juga mencakup tenaga kerja. Menghadapi arus globalisasi tersebut, negara membutuhkan kemampuan yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain.6 Dan sistem yang di terapkan Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menempat kelompok satuan atau lapis yang secara langsung terlibat dan bertanggungjawab mengenai penetapan tujuan, penyediaan sumberdaya, pelaksanaan proses, dan evaluasi kualitas hasil serta kinerja. Keterlibatan dan pertanggungjawaban tersebut, baik secara bersama maupun oleh masing-masing lapis dilaksanakan dalam suatu kerangka kewajiban, tugas dan wewenang, yang secara keseluruhan membentuk Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Ke-empat lapis tersebut terkait satu dengan lainnya secara hierarkis, yaitu :

  • Lapis ke-1 Otoritas Pusat

  • Lapis ke-2 Perguruan Tinggi

  • Lapis ke-3 Unit Akademik Dasar

  • Lapis ke-4 Sivitas Akademika

Posisi mahasiswa berada pada lapis ke-empat yang dalam proses pengambilan kebijakan sama sekali tidak berpengaruh karena struktur organisasi Perguruan Tinggi itu sendiri yang kini menaruh Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ yang mewakili pemerintah dan masyarakat dalam Perguruan Tinggi.7 Walaupun Perguruan Tinggi merupakan BHMN yang bersifat nirlaba, tetapi ia diperbolehkan mendirikan badan usaha yang mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mengatasi biaya operasional. Terbukalah peluang bagi Perguruan Tinggi untuk bekerja sama dengan para pemilik modal, berarti pendidikan menjadi komersial. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membentuk sebuah badan usaha bernama PT. GMUM yang memiliki 23 anak perusahaan dan siap menerbitkan saham begitu keuntungan sudah diperoleh. Kepentingan-kepentingan pemodal ini kemudian terwakili dalam Majelis Wali Amanat, yang selain terdiri atas unsur pemerintah (Menteri) dan Kampus (Senat Akademik dan Rektor), juga mencakup wakil dari masyarakat. Secara riil “wakil dari masyarakat” hanyalah sebuah penghalusan dari “wakil pemilik modal.” Tengok saja anggota-anggota MWA Universitas Indonesia (UI) dari unsur masyarakat yang dilantik 1 November lalu. Dari 6 orang tersebut, tercatat dua orang pengusaha besar, yaitu Muchtar Riyadi dari Lippo Group dan Rahmat Gobel yang menjadi Direktur Utama PT. National Gobel. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), komposisinya juga tak jauh berbeda. Dari 8 orang yang dilantik, terdapat juga unsur-unsur pemodal, antara lain Adrian Maghribi dan Prihadi Santoso (Presiden dan Wakil Presiden PT. Freeport Indonesia), dan Saifuddin Hasan (Presiden Direktur Bank BNI). Buyarlah sudah anggapan bahwa kampus adalah milik rakyat. Pada kenyataannya, kampus adalah milik pemodal.

Hal inilah yang kemudian menelanjangi sistem pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia, bahwa pendidikan adalah komoditi bagi kapitalisme, menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha yang menghasilkan modal dan menjadi alat pemilik modal untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil yang sesuai dengan standar kapitalisme. Pendidikan direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem kapitalisme. Mata kuliah yang ada dipecah-pecah dan direduksi proses ilmiahnya menjadi lebih pragmatis dan jelas yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Terjadi pula pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun, untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Ini tentu saja lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O. Lebih parah lagi, mekanisme pasar kemudian berlaku dalam pasar tenaga kerja. Apabila kemudian jumlah tenaga kerja yang tersedia membludak dan melebihi kemampuan serap, maka daya tawar pemilik modal meningkat dan melemahkan posisi tawar calon-calon pekerja yang baru lulus tersebut. Daripada menjadi pengangguran, mau tak mau mereka kemudian menerima saja bekerja dengan gaji rendah atau standar kerja yang minimal, misalnya.

Ini saja sudah menunjukkan bahwa mahasiswa sama sekali tidak dipandang penting dalam proses otonomi kampus ini, ia cukup patuh saja pada peraturan pemerintah tanpa sama sekali diberi hak untuk didengarkan pendapatnya, apalagi untuk turut serta dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Suatu hal yang justru bertentangan dengan proses demokrasi, di mana minoritas tunduk pada mayoritas.








1 Balitbang Depdiknas, 1999-2000

2 Balitbang Depdiknas, 1999-2000

3 Kompas, 8 September 2001

4 Kompas, 18 Mei 2002

4 Gamma, 5-11 september 2001

5 Kompas, 2 Mei 2002

5 Kompas Kamis, 25 April 2002

6 PP No. 61 tahun 1999, sumber Balitbang Depdiknas 1999-2000

7 Program Dikti, sumber Balitbang Depdiknas 1999-2000

Geng Nero

Di Balik Aksi Kekerasan Geng Nero


Fenomena kekerasan di kalangan remaja kembali menarik perhatian masyarakat. Beberapa waktu lalu sempat heboh soal kekerasan yang dipicu oleh lahirnya geng-geng remaja di Sekolah Menengah Atas, hingga menimbulkan penganiayaan terhadap para siswa. Sekarang masyarakat kembali dikejutkan dengan keberadaan geng Nero. Geng ini terdiri dari sekelompok remaja perempuan yang terikat oleh loyalitas yang sama dalam menjaga keunggulan kelompoknya. Seperti yang diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat, koran lokal di Yogyakarta pada 22 Juni lalu, keempat anggota geng Nero yakni Ratna, Yunika, Maya dan Tika semula merupakan sesama atlet basket Sekolah Menengah Pertama di kota Juwana. Kebersamaan ini berlanjut, meskipun mereka berada di bangku Sekolah Menengah Atas yang berbeda. Tali persahabatan ini lantas menginisiasi sebuah gagasan untuk membentuk geng yang tak tertandingi di kotanya. Maka lahirlah geng Nero sebagai simbol kedigdayaan yang akan membabat habis para remaja di bawahnya, terutama berkelamin sejenis, yang berani bertingkah di luar batas kesesuaian yang telah distandarkan oleh mereka sendiri.


Melalui pengorganisasian yang sistematis, beberapa aksi mereka lakukan. Layaknya polisi rahasia, mereka akan mematai-matai beberapa remaja putri di sekitarnya. Jika ada yang tampak ”kemayu” atau memiliki potensi membangkang terhadap ”mbak-mbak” geng Nero, maka akan ada pelaporan pada setiap pertemuan organisasi yang rutin diadakan. Hasil laporan itu lantas mereka olah untuk menemukan cara yang strategis saat menghajar orang-orang yang sudah mereka incar.


Pada tahap awal mereka mungkin akan menghadang calon korban itu di tengah jalan lalu menegurnya. Mereka memberi peringatan sekaligus larangan kepada korban untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma ciptaan geng Nero. Jika hal tersebut masih juga dilakukan atau justru lebih dari sebelumnya, maka aksi labrak menjadi alternatif berikutnya. Korban akan menerima umpatan yang lebih keras. Ancaman yang diberikan tentunya juga lebih beragam dan menakutkan. Jika dalam selama proses pengawasan tidak ada perubahan prilaku, maka pilihan terakhir adalah melalui jalan kekerasan fisik.


Bagi geng Nero, pihak yang tidak menurut pada teguran merupakan tindak pembangkangan yang jauh dari pengampunan. Maka mereka mewajarkan pemukulan atau pengeroyokan. Sebab, selain memberikan pelajaran hal ini juga ditujukan untuk membuat korban benar-benar merasa jera dan percaya bahwa kekuasaan geng Nero tak dapat ditandingi. Akan tetapi siklus ini tidak selalu berlaku runut. Hukuman dapat diberikan tanpa melewati tahapan seperti yang dijelaskan di atas. Geng Nero dapat saja langsung melabrak bahkan memukul, jika kesalahan yang dilakukan dianggap sudah melebihi batas.


Aksi kekerasan yang dilakukan para remaja seperti geng Nero, mungkin bukan sesuatu yang baru di negara ini. Hampir setiap tahun kita menyaksikan prilaku kekerasan yang diorganisir bahkan memiliki legitimasi, macam kegiatan ospek. Tidak dapat dipungkiri bahwa siswa senior akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kepatuhan dari para junior. Berlindung dari jargon ’perpeloncoan’ atau penguatan mental, para kakak kelas akan memberi tugas yang tidak masuk akal, memerintahkan untuk melakukan aksi-aksi yang memalukan, dan memberi bentakan untuk setiap kesalahan yang memang dicari-cari.

Demikian halnya dengan fenomena geng di Sekolah Menengah Atas dan geng motor yang melakukan kaderisasi melalui cara-cara kekerasan. Setiap anggota baru harus melewati beberapa seleksi, salah satunya menghadapi tendangan atau pukulan para seniornya. Masyarakat pun meresahkan peristiwa itu bahkan berbagai kecaman sempat dilontarkan. Dalam konteks ini, perubahan sosial dianggap telah menyebabkan pergeseran nilai atau orientasi, serta format relasi. Merasuknya teknologi dijadikan kambing hitam dalam mendorong masyarakat untuk cenderung berpikir instan dan pragmatis, dimana secara struktural mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk remaja. Visualisasi media sebagai pentas realitas dan ekpresi identitas bahkan dianggap telah terjerembab sebagai instrumen pengganda kultur kekerasan. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-tayangan kekerasan dijadikan inspirasi bagi remaja untuk mendapatkan citranya sebagai yang “tak terkalahkan”.


Namun berbeda jika kasus kekerasan koletif tersebut dilakukan oleh sekelompok perempuan terhadap sesamanya. Tidak beranjak pada analisis yang muluk-muluk, tapi reaksi masyarakat lebih didominasi oleh perasaan heran. Sebab dalam pengertian umum perempuan diletakan pada definisi mahluk Tuhan yang paling halus, penurut dan suka mengalah. Intinya, perempuan jauh dari sikap yang ’neko-neko’ apalagi prilaku yang mengarah pada kekerasan. Jika keluar dari batas-batas sikap yang telah dikonstruksikan maka hal tersebut cukup mengagetkan. Sebab berarti perempuan telah berani menyepakati nilai yang ditabukan dan melawan kodratnya.


Dalam sejarahnya, perempuan dididik untuk menjadi manusia yang lembut, teliti, atau penyabar. Sebetulnya sifat-sifat tersebut tidak buruk. Hanya saja, selalu dijadikan pembenar untuk menempatkan perempuan pada posisi yang dapat dikendalikan dan dipasifkan. Sedangkan anak laki-laki memiliki batasan yang lebih luas dalam menentukan pilihannya. Laki-laki seolah-olah wajar jika menunjukkan eksistensinya yang jantan, pemberani, berkata lantang, dan memiliki aktivitas yang padat demi pergaulan dunia publik yang potesial bagi masa depannya. Internalisasi pola asuh yang demikian, akhirnya akan membentuk ruang interaksi dan identitas yang berbeda. Aktivitas domestik yang sarat dengan nilai-nilai kepatuhan akan didekatkan dengan perempuan. Sebaliknya, sektor publik yang lekat dengan dominasi, menjadi wilayah yang dipasrahkan pada kendali laki-laki. Sehingga, laki-laki akan lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pengakuan atas karya-karyanya. Sementara perempuan, betapapun hebatnya, tetap akan meringkuk dalam sarangnya. Seperti istilah yang turun menurun diajarkan bahwa perempuan adalah konco wingking. Jadi sepandai-pandainya perempuan, dia tetap akan bermukim di dapur.


Jika alur berpikir masyarakat tersebut terus dilestarikan, maka munculnya kecemburuan akan menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Tekanan untuk selalu menutupi kelebihan dapat melahirkan sebuah gugatan bahwa perempuan juga manusia yang memiliki bakat dan potensi untuk diakui di pentas publik. Timbul keinginan untuk juga dihargai, dan menjadi generasi tidak melulu kalah. Namun karena hal tersebut hanya diperoleh dalam diri seorang laki-laki, maka perempuan lantas menduplikasi prilaku-prilaku konstruktif yang dilekatkan pada lawan jenisnya. Seperti yang dilakukan oleh geng Nero. Sebagai kelompok perempuan, mereka ingin menanggalkan posisi inferioritasnya. Upayanya adalah dengan menegasikan sifat-sifat lembutnya dan cenderung mencotoh sikap yang kasar dan menindas agar dapat dianggap sebagai kelompok yang superior—tidak kalah ’jagoan’ dibandingkan laki-laki. Namun sayangnya, imitasi itu bukan mengarah pada pembebasan perempuan atas belenggu kultural yang menjeratnya selama ini, tapi justru mewujudkan simpul-simpul kekerasan yang dilakukan oleh perempuan kepada sesamanya.

Terkuaknya kasus geng Nero akhirnya menuai kegelisahan yang pantas untuk direnungkan. Pemahaman kesetaraan yang diinspirasi oleh pendidikan keluarga yang tidak adil gender ternyata melahirkan sebuah keputusan destruktif yang tidak menguntungkan pihak manapun. Metode gugatan atas ketidaksepakatan terhadap struktur patriarkhi yang dilakukan geng Nero malah menjadikan bumerang bagi kaumnya sendiri. Sebab, pencitraan sebuah aktualisasi tetap diukur melalui cara-cara maskulin yang menimbulkan kekerasan. Padahal melepaskan diri dari dominasi patriarkhi berarti menanggalkan segala cara berpikir maskulin untuk menjadi subjek yang otonom dengan identitas keperempuanan yang memang berbeda. Dengan mengusung dan menempatkan nilai-nilai kebaikan feminitas yang nir-kekerasan, perempuan justru akan memiliki serangkaian potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menjadikan dirinya berdaya, berguna dan berprestasi.[end]