Kamis, 09 Oktober 2008

Geng Nero

Di Balik Aksi Kekerasan Geng Nero


Fenomena kekerasan di kalangan remaja kembali menarik perhatian masyarakat. Beberapa waktu lalu sempat heboh soal kekerasan yang dipicu oleh lahirnya geng-geng remaja di Sekolah Menengah Atas, hingga menimbulkan penganiayaan terhadap para siswa. Sekarang masyarakat kembali dikejutkan dengan keberadaan geng Nero. Geng ini terdiri dari sekelompok remaja perempuan yang terikat oleh loyalitas yang sama dalam menjaga keunggulan kelompoknya. Seperti yang diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat, koran lokal di Yogyakarta pada 22 Juni lalu, keempat anggota geng Nero yakni Ratna, Yunika, Maya dan Tika semula merupakan sesama atlet basket Sekolah Menengah Pertama di kota Juwana. Kebersamaan ini berlanjut, meskipun mereka berada di bangku Sekolah Menengah Atas yang berbeda. Tali persahabatan ini lantas menginisiasi sebuah gagasan untuk membentuk geng yang tak tertandingi di kotanya. Maka lahirlah geng Nero sebagai simbol kedigdayaan yang akan membabat habis para remaja di bawahnya, terutama berkelamin sejenis, yang berani bertingkah di luar batas kesesuaian yang telah distandarkan oleh mereka sendiri.


Melalui pengorganisasian yang sistematis, beberapa aksi mereka lakukan. Layaknya polisi rahasia, mereka akan mematai-matai beberapa remaja putri di sekitarnya. Jika ada yang tampak ”kemayu” atau memiliki potensi membangkang terhadap ”mbak-mbak” geng Nero, maka akan ada pelaporan pada setiap pertemuan organisasi yang rutin diadakan. Hasil laporan itu lantas mereka olah untuk menemukan cara yang strategis saat menghajar orang-orang yang sudah mereka incar.


Pada tahap awal mereka mungkin akan menghadang calon korban itu di tengah jalan lalu menegurnya. Mereka memberi peringatan sekaligus larangan kepada korban untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma ciptaan geng Nero. Jika hal tersebut masih juga dilakukan atau justru lebih dari sebelumnya, maka aksi labrak menjadi alternatif berikutnya. Korban akan menerima umpatan yang lebih keras. Ancaman yang diberikan tentunya juga lebih beragam dan menakutkan. Jika dalam selama proses pengawasan tidak ada perubahan prilaku, maka pilihan terakhir adalah melalui jalan kekerasan fisik.


Bagi geng Nero, pihak yang tidak menurut pada teguran merupakan tindak pembangkangan yang jauh dari pengampunan. Maka mereka mewajarkan pemukulan atau pengeroyokan. Sebab, selain memberikan pelajaran hal ini juga ditujukan untuk membuat korban benar-benar merasa jera dan percaya bahwa kekuasaan geng Nero tak dapat ditandingi. Akan tetapi siklus ini tidak selalu berlaku runut. Hukuman dapat diberikan tanpa melewati tahapan seperti yang dijelaskan di atas. Geng Nero dapat saja langsung melabrak bahkan memukul, jika kesalahan yang dilakukan dianggap sudah melebihi batas.


Aksi kekerasan yang dilakukan para remaja seperti geng Nero, mungkin bukan sesuatu yang baru di negara ini. Hampir setiap tahun kita menyaksikan prilaku kekerasan yang diorganisir bahkan memiliki legitimasi, macam kegiatan ospek. Tidak dapat dipungkiri bahwa siswa senior akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kepatuhan dari para junior. Berlindung dari jargon ’perpeloncoan’ atau penguatan mental, para kakak kelas akan memberi tugas yang tidak masuk akal, memerintahkan untuk melakukan aksi-aksi yang memalukan, dan memberi bentakan untuk setiap kesalahan yang memang dicari-cari.

Demikian halnya dengan fenomena geng di Sekolah Menengah Atas dan geng motor yang melakukan kaderisasi melalui cara-cara kekerasan. Setiap anggota baru harus melewati beberapa seleksi, salah satunya menghadapi tendangan atau pukulan para seniornya. Masyarakat pun meresahkan peristiwa itu bahkan berbagai kecaman sempat dilontarkan. Dalam konteks ini, perubahan sosial dianggap telah menyebabkan pergeseran nilai atau orientasi, serta format relasi. Merasuknya teknologi dijadikan kambing hitam dalam mendorong masyarakat untuk cenderung berpikir instan dan pragmatis, dimana secara struktural mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk remaja. Visualisasi media sebagai pentas realitas dan ekpresi identitas bahkan dianggap telah terjerembab sebagai instrumen pengganda kultur kekerasan. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-tayangan kekerasan dijadikan inspirasi bagi remaja untuk mendapatkan citranya sebagai yang “tak terkalahkan”.


Namun berbeda jika kasus kekerasan koletif tersebut dilakukan oleh sekelompok perempuan terhadap sesamanya. Tidak beranjak pada analisis yang muluk-muluk, tapi reaksi masyarakat lebih didominasi oleh perasaan heran. Sebab dalam pengertian umum perempuan diletakan pada definisi mahluk Tuhan yang paling halus, penurut dan suka mengalah. Intinya, perempuan jauh dari sikap yang ’neko-neko’ apalagi prilaku yang mengarah pada kekerasan. Jika keluar dari batas-batas sikap yang telah dikonstruksikan maka hal tersebut cukup mengagetkan. Sebab berarti perempuan telah berani menyepakati nilai yang ditabukan dan melawan kodratnya.


Dalam sejarahnya, perempuan dididik untuk menjadi manusia yang lembut, teliti, atau penyabar. Sebetulnya sifat-sifat tersebut tidak buruk. Hanya saja, selalu dijadikan pembenar untuk menempatkan perempuan pada posisi yang dapat dikendalikan dan dipasifkan. Sedangkan anak laki-laki memiliki batasan yang lebih luas dalam menentukan pilihannya. Laki-laki seolah-olah wajar jika menunjukkan eksistensinya yang jantan, pemberani, berkata lantang, dan memiliki aktivitas yang padat demi pergaulan dunia publik yang potesial bagi masa depannya. Internalisasi pola asuh yang demikian, akhirnya akan membentuk ruang interaksi dan identitas yang berbeda. Aktivitas domestik yang sarat dengan nilai-nilai kepatuhan akan didekatkan dengan perempuan. Sebaliknya, sektor publik yang lekat dengan dominasi, menjadi wilayah yang dipasrahkan pada kendali laki-laki. Sehingga, laki-laki akan lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pengakuan atas karya-karyanya. Sementara perempuan, betapapun hebatnya, tetap akan meringkuk dalam sarangnya. Seperti istilah yang turun menurun diajarkan bahwa perempuan adalah konco wingking. Jadi sepandai-pandainya perempuan, dia tetap akan bermukim di dapur.


Jika alur berpikir masyarakat tersebut terus dilestarikan, maka munculnya kecemburuan akan menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Tekanan untuk selalu menutupi kelebihan dapat melahirkan sebuah gugatan bahwa perempuan juga manusia yang memiliki bakat dan potensi untuk diakui di pentas publik. Timbul keinginan untuk juga dihargai, dan menjadi generasi tidak melulu kalah. Namun karena hal tersebut hanya diperoleh dalam diri seorang laki-laki, maka perempuan lantas menduplikasi prilaku-prilaku konstruktif yang dilekatkan pada lawan jenisnya. Seperti yang dilakukan oleh geng Nero. Sebagai kelompok perempuan, mereka ingin menanggalkan posisi inferioritasnya. Upayanya adalah dengan menegasikan sifat-sifat lembutnya dan cenderung mencotoh sikap yang kasar dan menindas agar dapat dianggap sebagai kelompok yang superior—tidak kalah ’jagoan’ dibandingkan laki-laki. Namun sayangnya, imitasi itu bukan mengarah pada pembebasan perempuan atas belenggu kultural yang menjeratnya selama ini, tapi justru mewujudkan simpul-simpul kekerasan yang dilakukan oleh perempuan kepada sesamanya.

Terkuaknya kasus geng Nero akhirnya menuai kegelisahan yang pantas untuk direnungkan. Pemahaman kesetaraan yang diinspirasi oleh pendidikan keluarga yang tidak adil gender ternyata melahirkan sebuah keputusan destruktif yang tidak menguntungkan pihak manapun. Metode gugatan atas ketidaksepakatan terhadap struktur patriarkhi yang dilakukan geng Nero malah menjadikan bumerang bagi kaumnya sendiri. Sebab, pencitraan sebuah aktualisasi tetap diukur melalui cara-cara maskulin yang menimbulkan kekerasan. Padahal melepaskan diri dari dominasi patriarkhi berarti menanggalkan segala cara berpikir maskulin untuk menjadi subjek yang otonom dengan identitas keperempuanan yang memang berbeda. Dengan mengusung dan menempatkan nilai-nilai kebaikan feminitas yang nir-kekerasan, perempuan justru akan memiliki serangkaian potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menjadikan dirinya berdaya, berguna dan berprestasi.[end]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya Ibu Hannah Boss, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada individu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (hannahbossloanfirm@gmail.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.